Terdengar
seseorang berteriak, “Salsa, ayo cepat ikut! Mamamu terjatuh” aku hanya bisa
mematung tidak tau harus berbuat apa. Terlihat orang-orang yang tidak asing
bagiku berlari mendekat dari kejauhan, masih menggunakan seragam yang sama
dengan yang aku kenakan. Terekam jelas dibenakku detik-detik itu, saat matahari
mulai tenggelam, saat angin senja bertiup lembut menyapu wajahku, saat jarum
jam menunjukan pukul 5 sore di lapangan depan sekolah, saat ku menunggu mama
menjemput. Tidak terbayang sebelumnya dibenakku, hariku yang berjalan baik-baik
saja sejak pagi menjadi salah satu hari yang tak pernah bisa aku lupakan hingga
saat ini.
Saat
ku tersadar dari pikiranku sendiri, aku baru menyadari aku sedang berlari
bersama teman-temanku yang menggenggam tanganku erat menuju sebuah rumah. Di
depannya terparkir mobil yang aku tau adalah mobil yang setiap hari menjemput
dan mengantar teman-temanku. Suara pertama yang aku dengar ditempat itu adalah
suara keluhan dan jijik yang temanku ucapkan sambil menunjuk ke dalam mobil.
Tanpa pikir panjang, aku masuk dan menemukan darah berceceran di kursi dan
bagian dalam mobil lainnya.
Sebelum
aku sanggup bereaksi dengan apa yang aku lihat, suara berat khas laki-laki tua
berkata di belakangku, “Mamamu ada di dalam,cepat ke dalam! Biar bapak yang
urus” ku berlari secepat yang aku bisa tanpa berfikir, satu tujuan pastiku
yaitu mama. Aku memasuki pekarangan sebuah rumah bercat putih dengan palang
besar di depan menghiasi bertuliskan “Prakter Dokter dan Bidan” bersamaan
dengan mulai terlihatnya pintu masuk dan terciumnya wangi khas obat-obatan,
perlahan aku mulai lemas dan langkahku melambat. Ada rasa khawatir dan
ketakutan besar yang berkecamuk di dada dan pikiranku sampai pada akhirnya,
langkah ku terhenti.
Dua
hal yang aku tau pasti pada saat itu. Pertama, mama ada di balik pintu itu
bersama dokter yang sedang mengobati. Dan kedua, mama yang sedang menahan sakit
di tubuhnya, jelas ku mengetahuinya saat terdengar suara rintihan wanita yang
sangat ku kenali beberapa detik lalu terdengar. Aku dengan tubuh bergetar
berfikir, “Aku harus masuk memastikan keadaan mama dan menemani” tapi bagian dari
diriku tertahan, “Bagaimana bisa melihat seseorang yang sangat di sayangi
menahan sakit dan merintih kesakitan?” pada detik itu aku tidak tau harus
berbuat apa.
Perlahan
tapi pasti badanku mengambil keputusannya sendiri ditandai dengan kakiku yang
berjalan mundur dan mulutku yang hanya bisa berkata, “Aku ingin pulang” pada
bapak tua yang menyuruhku untuk masuk dan menemui mama tadi. Dalam perjalanan
pulang aku tidak bisa melepaskan kekhawatiran ku untuk memastikan dan melihat
mama tetapi aku sangat sadar bahwa aku tidak akan mampu menghadapi
kenyataannya. Beberapa jam setelah aku tiba di rumah, mama tiba di rumah dengan
jahitan di kaki, luka memar dan gores dibeberapa bagian tubuh.
Aku ingat betul hanya
Satu pertanyaan dan satu kalimat yang mama sampaikan padaku saat itu, “kenapa
tidak masuk ke dalam waktu mama di dalam rumah dokter tadi?” Aku tidak menjawab
dan hanya menangis lalu mama menarik tubuhku kepelukannya dan berkata “Lain
kali kamu harus berani”. Menyesal adalah hal yang aku rasakan dari kejadian
hari itu, bagaimana aku menyesal tidak masuk ke dalam memastikan kondisi mama dan
menemaninya menahan rasa sakit. Menyesal karna memilih menghindar pada saat
mama membutuhkan. Aku pun meminta maaf pada mama dan berjanji untuk lebih memberanikan
diri menghadapi segala sesuatunya.
Comments
Post a Comment